Kamis, 22 Januari 2015

BIOGRAFI: SALIMA SULTAN BEGUM


Salima Sultan Begum
 http://www.dolldivine.com/users/p/pa/310824/2014-03-02_12-12-24--117_197_239_79--_DollDivine_Sari-Maker.jpg
Pasangan Bairam Khan
Akbar
Wangsa Dinasti Timur
Ayah Nur ud-din Muhammad Mirza
Ibu Gulrang Begum
Lahir 23 Februari 1539
Meninggal 15 Desember 1612 (umur 73)
Delhi, India
Dikubur Mandarkar Garden, Agra
Agama Islam
Salima Sultan Begum (23 Februari 1539 – 15 Desember 1612) adalah Permaisuri Kekaisaran Mughal sebagai istri Kaisar Akbar. Salima sebelumnya telah menikah dengan Bairam Khan dan setelah pembunuhan di 1561, ia kemudian menikah dengan sepupu pertamanya, Kaisar Akbar.[1]
Salima Begum adalah wanita dengan posisi senior di harem kekaisaran. Karena itu, dia memegang pengaruh politik utama di Pengadilan Istana dan di Kekaisaran.[2] Namanya muncul dalam sejarah sebagai pembaca, penyair, yang menulis dengan nama samaran Makhfi (مخفی, "Hidden One") dan juga memohon kepada Akbar untuk memberikan pengampunan kepada anak tirinya, Jahangir.


Ruqaiya Sultan Begum adalah salah satu Ratu Mughal kesayangan Kaisar Akbar dan istri pertama Kaisar Akbar. Ia dilahirkan pada tahun 1542. Pernikahannya dengan Akbar terjadi pada tahun 1551 (pada usia 9th), dialah yang paling lama melayani Kaisar Akbar selama 54 tahun . Penobatan Akbar berlangsung pada 14 Februari 1556 dan dia menjabat sebagai Kaisar Mughal mulai dari tahun 1556-1605.

Rukaiya Begum lahir sebagai Timurid Princess. Dia adalah putri tunggal dari Hindal Mirza dan Sultanam Begum. Hindal Mirza adalah adik dari Humayun (ayah Akbar). Kakek Rukaiya Begum adalah Babur yang merupakan pendiri dari Kekaisaran Mughal di India.
Pada 1551, setelah kematian ayahnya, Hindal Mirza, Rukaiya menikah dengan Akbar Agung. Pernikahan diatur oleh Humayun. Kaisar Mughal Humayun adalah ayah dari Akbar dan paman dari Rukaiya.

Kaisar Akbar memiliki rasa hormat yang mendalam dan cinta untuk Rukaiya Begum. Pada saat konflik antara Akbar dan Salim / Jahangir ( anak Akbar dari Jodha Bai ), Rukaiya mencoba untuk menyelesaikan perselisihan tersebut. Dia juga membantu Jahangir untuk naik takhta.

Rukaiya adalah wanita yang berpendidikan dan menyukai seni dan budaya dan tahu banyak bahasa seperti Chagatai, Persia, Arab dan Urdu.

Ruqaiya menjadi Ratu kesayangan Kaisar dari Kekaisaran Mughal pada usia empat belas tahun setelah aksesi suaminya naik takhta pada tahun 1556.
Sepanjang 54 tahun menikah, Ruqaiya tidak mempunyai anak, tapi dia diberi tanggung jawab utama untuk membesarkan cucunya, Pangeran Khurram ( anak Pangeran Salim masa depan Kaisar Shah Jahan, pendiri Taj Mahal ).

Sebelum kelahiran Pangeran Khurram, peramal telah melaporkan bahwa anak yang masih belum lahir ini ditakdirkan untuk menjadi pewaris Kekaisaran. Jadi, ketika Khurram lahir pada tahun 1592 dan baru berumur enam hari, Raja Akbar memerintahkan bahwa pangeran akan diambil dari ibunya ( Ratu Bilqis ) dan menyerahkannya ke Ruqaiya sehingga dia bisa tumbuh di bawah perawatan Rukaiya dan Raja Akbar bisa memenuhi keinginan istrinya tertuanya ini, untuk menaikkan kaisar Mughal Khurram tetap bersamanya.

Setelah remaja Pangeran Muda diizinkan untuk kembali ke rumah ayahnya dengan demikian lebih dekat dengan ibu kandungnya.
Tapi Ruqaiya tetap mengawasi pendidikan Khurram, sang pangeran menjadi favorit dari kakeknya Raja Akbar. Ayah Khurram, Jahangir mencatat bahwa Ruqaiya sangat mencintai Khurram "seribu kali lebih daripada anaknya sendiri.

Rukayah Sultan Begum juga mengambil bagian aktif dalam politik pengadilan seperti Salima Sultan Begum dan Mariam-uz-Zaman
i. Pada awal 1600-an, Ruqaiya, Salima Sultan Begum dan Maryam Uz Zamani bersama dengan wanita lain di Istana para istri memainkan peran penting dalam negosiasi penyelesaian antara Akbar dan Jahangir ( ketika hubungan mereka telah berubah / renggang )
Rukayah akhirnya membantu untuk membuka jalan untuk aksesi Jahangir tahta.

Selama masa pemerintahan Jahangir, Ruqaiya dan Salima Sultan Begum memainkan peran penting lagi dalam dalam hal memberikan pengampunan untuk Khan-i-Azam, Mirza Aziz Koka, yang telah dijatuhi hukuman mati oleh Jahangir.
Terlepas dari istana di Fatehpur Sikri, Ruqaiya dimiliki istana di luar benteng di Agra, dekat sungai Jamuna, hak istimewa yang diberikan kepada putri Mughal dan Permaisuri Kaisar.

Pada tahun 1607, Ruqaiya pergi untuk ziarah ke makam ayahnya Hindal, di Kabul, sambil ditemani oleh anak tiri dan cucu kesayangannya Jahangir dan Khurram. Dalam tahun yang sama, Sher Afghanistan Quli Khan,Jagirdar dari Burdwan meninggal dan istrinya Mehrunnissa (yang nantinya menjadi Ratu Nur Jahan istri ke 20 Jahangir yang paling terkenal daripada istri yang lain ) dipanggil ke Agra oleh Jahangir untuk bertindak sebagai-dayang ke Ratu Ruqaiya. Mengingat adanya koneksi politik genting Sher Afghanistan sebelum kematiannya, sehingga keluarganya berada dalam bahaya besar dan oleh karena itu demi melindungi janda Quli Khan, Mehrunnissa di panggil ke Agra bersama putrinya, Ladli Begum untuk menjabat sebagai dayang-menunggu untuk Ratu Rukayah selama empat tahun.

Hubungan yang tumbuh antara Ruqaiya dan Mehrunnissa tampaknya telah menjadi sangat terikat satu sama lain, sampai pada kematian Ruqaiya di tahun 1626 . seorang pedagang Belanda, Pieter van den Broecke mengatakan: "Mehrunissa sangat mencintai dan menyayangi Ruqaiya Begum hingga akhir hayatnya”

Ruqaiya meninggal pada tahun 1626, pada usia 84 setelah hidup lebih lama dari suaminya selama 20 tahun. Dia dimakamkan di Gardens of Babur (Bagh-e-Babur) di Kabul, yang juga merupakan tempat peristirahatan dari kakeknya, Kaisar Babur dan ayahnya, Hindal Mirza. Makamnya dibangun oleh cucu tercintanya, Kaisar Shah Jahan.
Dalam otobiografinya, Jahangir memberikan status terhormat sebagai istri pertama Raja Akbar.


Abdul Rahim adalah salah satu dari Sembilan menteri penting di pengadilan Mughal pada masa kejayaan Raja Akbar. Dia juga seorang penyair yang telah menulis banyak buku astrologi,
Rahim lahir tanggal 17 Desember 1556 di Lahore Pakistan. Abdul Rahim mendapatkan gelar Mirza Khan. Dia adalah anak kandung Bairam Khan orang kepercayaan dan pengawal setia Raja Akbar, ibu kandungnya adalah Jamal Khan, dan istrinya bernama Mah Banu / Moon Lady adik Mirza Aziz kokah, putra Ataga Khan, pengawal Raja Akbar yang telah meninggal dunia dibunuh Adam Khan.

xml feed
Setelah kematian Bairam Khan pada tahun 1561, Rahim diboyong ke Kerajaan Mughal, dan ibu tirinya menikah dengan Raja Akbar.
Meskipun terlahir sebagai seorang Muslim, Rahim adalah pemuja Dewa Krishna dan menulis puisi yang didedikasikan kepada Khrisna . Abdul Rahim juga dikenal karena caranya yang aneh saat memberi sedekah kepada orang miskin. Dia tidak pernah melihat wajah orang yang ia beri sedekah, dia selalu menundukkan tatapannya ke bawah dengan segala kerendahan hati. Abdul Rahim Khan-i-Khana sangat terkenal suka melakukan pekerjaan amal untuk kepentingan masyarakat miskin.

Abdul Rahim yang mencoba menerjemahkan Baburnama ( otobiografi ttg Raja Babur, kakek Raja Akbar ) dan menulis berbagai macam Dohas. Dia sangat pintar dalam bahasa Sansekerta. Dia juga telah menulis buku astrologi seperti Dwa Wishd Yogavali dan Khet Kautukam.
Kedua putranya dibunuh oleh putra Akbar Jahangir dan tubuh mereka dibiarkan membusuk di Khooni Darwaza karena Rahim tidak mendukung aksesi Jehangir naik takhta pada saat kematian Raja Akbar.
Abdul Rahim meninggal pada tahun 1627. Makamnya terletak di Nizamuddin East di Mathura jalan dekat Makam Humayun di New Delhi. Dibangun oleh dia untuk istrinya pada 1598, dan jenazahnya di makamkan juga disana pada tahun 1627. 

BIOGRAFI: RUQAIYA SULTAN BEGUM





Ruqaiya Sultan Begum
http://www.dolldivine.com/users/p/pa/310824/2014-02-08_7-07-21--117_197_249_235--_DollDivine_Sari-Maker.jpg
Permaisuri dari Kekaisaran Mughal
Shahzadi dari Kekaisaran Mughal
Memerintah sebagai pasangan 11 Februari 1556 – 27 Oktober 1605
Permaisuri Akbar
Wangsa Dinasti Timurid
Ayah Hindal Mirza
Ibu Sultanam Begum
Lahir 1542 Afghanistan
Meninggal 19 Januari 1626 (umur 84)[1] Agra, India
Dikubur Taman Babur
Agama Islam
Ruqaiya Sultana Begum (bahasa Persia: رقیه سلطان بیگم; juga dieja sebagai Ruqayya, Ruqayyah) (1542 – 19 Januari 1626) adalah Permaisuri dari Kekaisaran Mughal. Ia adalah istri pertama dari Kaisar Akbar.[2][3][4][5] Ia juga merupakan Permaisuri Mughal yang paling lama menjabat dengan masa jabatan selama 49 tahun.[6]
Ia terlahir sebagai putri Mughal (Shahzadi) dan putri satu-satunya dari Pangeran Mughal, Hindal Mirza, yang merupakan paman termuda Akbar dari pihak ayah.[5] Ia juga merupakan cucu dari Kaisar Babur, pendiri dari Kekaisaran Mughal Empire dan Kaisar Mughal yang pertama, serta keponakan yang kedua, Humayun.
Dia memainkan peran penting dalam negosiasi penyelesaian antara suami dan anak tirinya, Jahangir, ketika hubungan ayah-anak berubah memburuk pada awal 1600-an, akhirnya membantu Jahangir untuk naik tahta.[7]


Ruqaiya Sultan Begum adalah salah satu Ratu Mughal kesayangan Kaisar Akbar dan istri pertama Kaisar Akbar. Ia dilahirkan pada tahun 1542. Pernikahannya dengan Akbar terjadi pada tahun 1551 (pada usia 9th), dialah yang paling lama melayani Kaisar Akbar selama 54 tahun . Penobatan Akbar berlangsung pada 14 Februari 1556 dan dia menjabat sebagai Kaisar Mughal mulai dari tahun 1556-1605.

Rukaiya Begum lahir sebagai Timurid Princess. Dia adalah putri tunggal dari Hindal Mirza dan Sultanam Begum. Hindal Mirza adalah adik dari Humayun (ayah Akbar). Kakek Rukaiya Begum adalah Babur yang merupakan pendiri dari Kekaisaran Mughal di India.
Pada 1551, setelah kematian ayahnya, Hindal Mirza, Rukaiya menikah dengan Akbar Agung. Pernikahan diatur oleh Humayun. Kaisar Mughal Humayun adalah ayah dari Akbar dan paman dari Rukaiya.

Kaisar Akbar memiliki rasa hormat yang mendalam dan cinta untuk Rukaiya Begum. Pada saat konflik antara Akbar dan Salim / Jahangir ( anak Akbar dari Jodha Bai ), Rukaiya mencoba untuk menyelesaikan perselisihan tersebut. Dia juga membantu Jahangir untuk naik takhta.

Rukaiya adalah wanita yang berpendidikan dan menyukai seni dan budaya dan tahu banyak bahasa seperti Chagatai, Persia, Arab dan Urdu.

Ruqaiya menjadi Ratu kesayangan Kaisar dari Kekaisaran Mughal pada usia empat belas tahun setelah aksesi suaminya naik takhta pada tahun 1556.
Sepanjang 54 tahun menikah, Ruqaiya tidak mempunyai anak, tapi dia diberi tanggung jawab utama untuk membesarkan cucunya, Pangeran Khurram ( anak Pangeran Salim masa depan Kaisar Shah Jahan, pendiri Taj Mahal ).

Sebelum kelahiran Pangeran Khurram, peramal telah melaporkan bahwa anak yang masih belum lahir ini ditakdirkan untuk menjadi pewaris Kekaisaran. Jadi, ketika Khurram lahir pada tahun 1592 dan baru berumur enam hari, Raja Akbar memerintahkan bahwa pangeran akan diambil dari ibunya ( Ratu Bilqis ) dan menyerahkannya ke Ruqaiya sehingga dia bisa tumbuh di bawah perawatan Rukaiya dan Raja Akbar bisa memenuhi keinginan istrinya tertuanya ini, untuk menaikkan kaisar Mughal Khurram tetap bersamanya.

Setelah remaja Pangeran Muda diizinkan untuk kembali ke rumah ayahnya dengan demikian lebih dekat dengan ibu kandungnya.
Tapi Ruqaiya tetap mengawasi pendidikan Khurram, sang pangeran menjadi favorit dari kakeknya Raja Akbar. Ayah Khurram, Jahangir mencatat bahwa Ruqaiya sangat mencintai Khurram "seribu kali lebih daripada anaknya sendiri.

Rukayah Sultan Begum juga mengambil bagian aktif dalam politik pengadilan seperti Salima Sultan Begum dan Mariam-uz-Zaman
i. Pada awal 1600-an, Ruqaiya, Salima Sultan Begum dan Maryam Uz Zamani bersama dengan wanita lain di Istana para istri memainkan peran penting dalam negosiasi penyelesaian antara Akbar dan Jahangir ( ketika hubungan mereka telah berubah / renggang )
Rukayah akhirnya membantu untuk membuka jalan untuk aksesi Jahangir tahta.

Selama masa pemerintahan Jahangir, Ruqaiya dan Salima Sultan Begum memainkan peran penting lagi dalam dalam hal memberikan pengampunan untuk Khan-i-Azam, Mirza Aziz Koka, yang telah dijatuhi hukuman mati oleh Jahangir.
Terlepas dari istana di Fatehpur Sikri, Ruqaiya dimiliki istana di luar benteng di Agra, dekat sungai Jamuna, hak istimewa yang diberikan kepada putri Mughal dan Permaisuri Kaisar.

Pada tahun 1607, Ruqaiya pergi untuk ziarah ke makam ayahnya Hindal, di Kabul, sambil ditemani oleh anak tiri dan cucu kesayangannya Jahangir dan Khurram. Dalam tahun yang sama, Sher Afghanistan Quli Khan,Jagirdar dari Burdwan meninggal dan istrinya Mehrunnissa (yang nantinya menjadi Ratu Nur Jahan istri ke 20 Jahangir yang paling terkenal daripada istri yang lain ) dipanggil ke Agra oleh Jahangir untuk bertindak sebagai-dayang ke Ratu Ruqaiya. Mengingat adanya koneksi politik genting Sher Afghanistan sebelum kematiannya, sehingga keluarganya berada dalam bahaya besar dan oleh karena itu demi melindungi janda Quli Khan, Mehrunnissa di panggil ke Agra bersama putrinya, Ladli Begum untuk menjabat sebagai dayang-menunggu untuk Ratu Rukayah selama empat tahun.

Hubungan yang tumbuh antara Ruqaiya dan Mehrunnissa tampaknya telah menjadi sangat terikat satu sama lain, sampai pada kematian Ruqaiya di tahun 1626 . seorang pedagang Belanda, Pieter van den Broecke mengatakan: "Mehrunissa sangat mencintai dan menyayangi Ruqaiya Begum hingga akhir hayatnya”

Ruqaiya meninggal pada tahun 1626, pada usia 84 setelah hidup lebih lama dari suaminya selama 20 tahun. Dia dimakamkan di Gardens of Babur (Bagh-e-Babur) di Kabul, yang juga merupakan tempat peristirahatan dari kakeknya, Kaisar Babur dan ayahnya, Hindal Mirza. Makamnya dibangun oleh cucu tercintanya, Kaisar Shah Jahan.
Dalam otobiografinya, Jahangir memberikan status terhormat sebagai istri pertama Raja Akbar.

SEJARAH: G 30 S/PKI

Gerakan 30 September (dahulu juga disingkat G 30 S PKI, G-30S/PKI), Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah sebuah peristiwa yang terjadi selewat malam tanggal 30 September sampai di awal 1 Oktober 1965 di saat tujuh perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha percobaan kudeta yang kemudian dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia. 
Perayaan Milad PKI yang ke 45 di Jakarta pada awal tahun 1965
Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan partai komunis yang terbesar di seluruh dunia, di luar Tiongkok dan Uni Soviet. Sampai pada tahun 1965 anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan petani Barisan Tani Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk pergerakan wanita (Gerwani), organisasi penulis dan artis dan pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.
Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden - sekali lagi dengan dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin". PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan Komunis yang dinamakan NASAKOM.
Pada era "Demokrasi Terpimpin", kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum burjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.

Angkatan kelima

Pada kunjungan Menlu Subandrio ke Tiongkok, Perdana Menteri Zhou Enlai menjanjikan 100.000 pucuk senjata jenis chung, penawaran ini gratis tanpa syarat dan kemudian dilaporkan ke Bung Karno tetapi belum juga menetapkan waktunya sampai meletusnya G30S.
Pada awal tahun 1965 Bung Karno atas saran dari PKI akibat dari tawaran perdana mentri RRC, mempunyai ide tentang Angkatan Kelima yang berdiri sendiri terlepas dari ABRI. Tetapi petinggi Angkatan Darat tidak setuju dan hal ini lebih menimbulkan nuansa curiga-mencurigai antara militer dan PKI.
Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha memprovokasi bentrokan-bentrokan antara aktivis massanya dan polisi dan militer. Pemimpin-pemimpin PKI juga menginfiltrasi polisi dan tentara denga slogan "kepentingan bersama" polisi dan "rakyat". Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami slogan "Untuk Ketentraman Umum Bantu Polisi". Di bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri dari "sikap-sikap sektarian" kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan seniman sayap-kiri untuk membuat "massa tentara" subjek karya-karya mereka.
Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ribuan petani bergerak merampas tanah yang bukan hak mereka atas hasutan PKI. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan polisi dan para pemilik tanah.
Bentrokan-bentrokan tersebut dipicu oleh propaganda PKI yang menyatakan bahwa petani berhak atas setiap tanah, tidak peduli tanah siapapun (milik negara = milik bersama). Kemungkinan besar PKI meniru revolusi Bolsevik di Rusia, di mana di sana rakyat dan partai komunis menyita milik Tsar dan membagi-bagikannya kepada rakyat.
Pada permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik Amerika Serikat. Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki pemerintahan dengan resmi. Pada waktu yang sama, jenderal-jenderal militer tingkat tinggi juga menjadi anggota kabinet. Jendral-jendral tersebut masuk kabinet karena jabatannya di militer oleh Sukarno disamakan dengan setingkat mentri. Hal ini dapat dibuktikan dengan nama jabatannya (Menpangab, Menpangad, dan lain-lain).
Menteri-menteri PKI tidak hanya duduk di sebelah para petinggi militer di dalam kabinet Sukarno ini, tetapi mereka terus mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa angkatan bersenjata adalah merupakan bagian dari revolusi demokratis "rakyat".
Pengangkatan Jenazah di Lubang Buaya
Aidit memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan bersenjata di mana ia berbicara tentang "perasaan kebersamaan dan persatuan yang bertambah kuat setiap hari antara tentara Republik Indonesia dan unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para komunis".
Rezim Sukarno mengambil langkah terhadap para pekerja dengan melarang aksi-aksi mogok di industri. Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan karena industri menurut mereka adalah milik pemerintahan NASAKOM.
Tidak lama PKI mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk pembentukan rezim militer, menyatakan keperluan untuk pendirian "angkatan kelima" di dalam angkatan bersenjata, yang terdiri dari pekerja dan petani yang bersenjata. Bukannya memperjuangkan mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk melawan ancaman militer yang sedang berkembang itu, kepemimpinan PKI malah berusaha untuk membatasi pergerakan massa yang makin mendalam ini dalam batas-batas hukum kapitalis negara. Mereka, depan jendral-jendral militer, berusaha menenangkan bahwa usul PKI akan memperkuat negara. Aidit menyatakan dalam laporan ke Komite Sentral PKI bahwa "NASAKOMisasi" angkatan bersenjata dapat dicapai dan mereka akan bekerjasama untuk menciptakan "angkatan kelima". Kepemimpinan PKI tetap berusaha menekan aspirasi revolusioner kaum buruh di Indonesia. Di bulan Mei 1965, Politbiro PKI masih mendorong ilusi bahwa aparatus militer dan negara sedang diubah untuk mengecilkan aspek anti-rakyat dalam alat-alat negara.

Isu sakitnya Bung Karno

Sejak tahun 1964 sampai menjelang meletusnya G30S telah beredar isu sakit parahnya Bung Karno. Hal ini meningkatkan kasak-kusuk dan isu perebutan kekuasaan apabila Bung Karno meninggal dunia. Namun menurut Subandrio, Aidit tahu persis bahwa Bung Karno hanya sakit ringan saja, jadi hal ini bukan merupakan alasan PKI melakukan tindakan tersebut.

Isu masalah tanah dan bagi hasil

Pada tahun 1960 keluarlah Undang-Undang Pokok Agraria (UU Pokok Agraria) dan Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UU Bagi Hasil) yang sebenarnya merupakan kelanjutan dari Panitia Agraria yang dibentuk pada tahun 1948. Panitia Agraria yang menghasilkan UUPA terdiri dari wakil pemerintah dan wakil berbagai ormas tani yang mencerminkan 10 kekuatan partai politik pada masa itu. Walaupun undang-undangnya sudah ada namun pelaksanaan di daerah tidak jalan sehingga menimbulkan gesekan antara para petani penggarap dengan pihak pemilik tanah yang takut terkena UUPA, melibatkan sebagian massa pengikutnya dengan melibatkan backing aparat keamanan. Peristiwa yang menonjol dalam rangka ini antara lain peristiwa Bandar Betsi di Sumatera Utara dan peristiwa di Klaten yang disebut sebagai ‘aksi sepihak’ dan kemudian digunakan sebagai dalih oleh militer untuk membersihkannya.
Keributan antara PKI dan Islam (tidak hanya NU, tapi juga dengan Persis dan Muhammadiyah) itu pada dasarnya terjadi di hampir semua tempat di Indonesia, di Jawa Barat, Jawa Timur, dan di provinsi-provinsi lain juga terjadi hal demikian, PKI di beberapa tempat bahkan sudah mengancam kyai-kyai bahwa mereka akan disembelih setelah tanggal 30 September 1965 (hal ini membuktikan bahwa seluruh elemen PKI mengetahui rencana kudeta 30 September tersebut).

Faktor Malaysia

Negara Federasi Malaysia yang baru terbentuk pada tanggal 16 September 1963 adalah salah satu faktor penting dalam insiden ini[1]. Konfrontasi Indonesia-Malaysia merupakan salah satu penyebab kedekatan Presiden Soekarno dengan PKI, menjelaskan motivasi para tentara yang menggabungkan diri dalam gerakan G30S/Gestok (Gerakan Satu Oktober), dan juga pada akhirnya menyebabkan PKI melakukan penculikan petinggi Angkatan Darat.
Sejak demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, di mana para demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno, membawa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan Tunku Abdul RahmanPerdana Menteri Malaysia saat itu—dan memaksanya untuk menginjak Garuda, amarah Soekarno terhadap Malaysia pun meledak.
Soekarno yang murka karena hal itu mengutuk tindakan Tunku yang menginjak-injak lambang negara Indonesia[2] dan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang terkenal dengan sebutan "Ganyang Malaysia" kepada negara Federasi Malaysia yang telah sangat menghina Indonesia dan presiden Indonesia. Perintah Soekarno kepada Angkatan Darat untuk meng"ganyang Malaysia" ditanggapi dengan dingin oleh para jenderal pada saat itu. Di satu pihak Letjen Ahmad Yani tidak ingin melawan Malaysia yang dibantu oleh Inggris dengan anggapan bahwa tentara Indonesia pada saat itu tidak memadai untuk peperangan dengan skala tersebut, sedangkan di pihak lain Kepala Staf TNI Angkatan Darat A.H. Nasution setuju dengan usulan Soekarno karena ia mengkhawatirkan isu Malaysia ini akan ditunggangi oleh PKI untuk memperkuat posisinya di percaturan politik di Indonesia.
Posisi Angkatan Darat pada saat itu serba salah karena di satu pihak mereka tidak yakin mereka dapat mengalahkan Inggris, dan di lain pihak mereka akan menghadapi Soekarno yang mengamuk jika mereka tidak berperang. Akhirnya para pemimpin Angkatan Darat memilih untuk berperang setengah hati di Kalimantan. Tak heran, Brigadir Jenderal Suparjo, komandan pasukan di Kalimantan Barat, mengeluh, konfrontasi tak dilakukan sepenuh hati dan ia merasa operasinya disabotase dari belakang[3]. Hal ini juga dapat dilihat dari kegagalan operasi gerilya di Malaysia, padahal tentara Indonesia sebenarnya sangat mahir dalam peperangan gerilya.
Mengetahui bahwa tentara Indonesia tidak mendukungnya, Soekarno merasa kecewa dan berbalik mencari dukungan PKI untuk melampiaskan amarahnya kepada Malaysia. Soekarno, seperti yang ditulis di otobiografinya, mengakui bahwa ia adalah seorang yang memiliki harga diri yang sangat tinggi, dan tidak ada yang dapat dilakukan untuk mengubah keinginannya meng"ganyang Malaysia".
Soekarno adalah seorang individualis. Manusia jang tjongkak dengan suara-batin yang menjala-njala, manusia jang mengakui bahwa ia mentjintai dirinja sendiri tidak mungkin mendjadi satelit jang melekat pada bangsa lain. Soekarno tidak mungkin menghambakan diri pada dominasi kekuasaan manapun djuga. Dia tidak mungkin menjadi boneka.
Di pihak PKI, mereka menjadi pendukung terbesar gerakan "ganyang Malaysia" yang mereka anggap sebagai antek Inggris, antek nekolim. PKI juga memanfaatkan kesempatan itu untuk keuntungan mereka sendiri, jadi motif PKI untuk mendukung kebijakan Soekarno tidak sepenuhnya idealis.
Pada saat PKI memperoleh angin segar, justru para penentangnyalah yang menghadapi keadaan yang buruk; mereka melihat posisi PKI yang semakin menguat sebagai suatu ancaman, ditambah hubungan internasional PKI dengan Partai Komunis sedunia, khususnya dengan adanya poros Jakarta-Beijing-Moskow-Pyongyang-Phnom Penh. Soekarno juga mengetahui hal ini, namun ia memutuskan untuk mendiamkannya karena ia masih ingin meminjam kekuatan PKI untuk konfrontasi yang sedang berlangsung, karena posisi Indonesia yang melemah di lingkungan internasional sejak keluarnya Indonesia dari PBB (20 Januari 1965).
Dari sebuah dokumen rahasia badan intelejen Amerika Serikat (CIA) yang baru dibuka yang bertanggalkan 13 Januari 1965 menyebutkan sebuah percakapan santai Soekarno dengan para pemimpin sayap kanan bahwa ia masih membutuhkan dukungan PKI untuk menghadapi Malaysia dan oleh karena itu ia tidak bisa menindak tegas mereka. Namun ia juga menegaskan bahwa suatu waktu "giliran PKI akan tiba. "Soekarno berkata, "Kamu bisa menjadi teman atau musuh saya. Itu terserah kamu. ... Untukku, Malaysia itu musuh nomor satu. Suatu saat saya akan membereskan PKI, tetapi tidak sekarang."[2]
Dari pihak Angkatan Darat, perpecahan internal yang terjadi mulai mencuat ketika banyak tentara yang kebanyakan dari Divisi Diponegoro yang kesal serta kecewa kepada sikap petinggi Angkatan Darat yang takut kepada Malaysia, berperang hanya dengan setengah hati, dan berkhianat terhadap misi yang diberikan Soekarno. Mereka memutuskan untuk berhubungan dengan orang-orang dari PKI untuk membersihkan tubuh Angkatan Darat dari para jenderal ini.

Faktor Amerika Serikat

Amerika Serikat pada waktu itu sedang terlibat dalam perang Vietnam dan berusaha sekuat tenaga agar Indonesia tidak jatuh ke tangan komunisme. Peranan badan intelejen Amerika Serikat (CIA) pada peristiwa ini sebatas memberikan 50 juta rupiah (uang saat itu) kepada Adam Malik dan walkie-talkie serta obat-obatan kepada tentara Indonesia. Politisi Amerika pada bulan-bulan yang menentukan ini dihadapkan pada masalah yang membingungkan karena mereka merasa ditarik oleh Sukarno ke dalam konfrontasi Indonesia-Malaysia ini.
Salah satu pandangan mengatakan bahwa peranan Amerika Serikat dalam hal ini tidak besar, hal ini dapat dilihat dari telegram Duta Besar Green ke Washington pada tanggal 8 Agustus 1965 yang mengeluhkan bahwa usahanya untuk melawan propaganda anti-Amerika di Indonesia tidak memberikan hasil bahkan tidak berguna sama sekali. Dalam telegram kepada Presiden Johnson tanggal 6 Oktober, agen CIA menyatakan ketidakpercayaan kepada tindakan PKI yang dirasa tidak masuk akal karena situasi politis Indonesia yang sangat menguntungkan mereka, dan hingga akhir Oktober masih terjadi kebingungan atas pembantaian di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali dilakukan oleh PKI atau NU/PNI.
Pandangan lain, terutama dari kalangan korban dari insiden ini, menyebutkan bahwa Amerika menjadi aktor di balik layar dan setelah dekrit Supersemar Amerika memberikan daftar nama-nama anggota PKI kepada militer untuk dibunuh. Namun hingga saat ini kedua pandangan tersebut tidak memiliki banyak bukti-bukti fisik.

Faktor ekonomi

Ekonomi masyarakat Indonesia pada waktu itu yang sangat rendah mengakibatkan dukungan rakyat kepada Soekarno (dan PKI) meluntur. Mereka tidak sepenuhnya menyetujui kebijakan "ganyang Malaysia" yang dianggap akan semakin memperparah keadaan Indonesia.
Inflasi yang mencapai 650% membuat harga makanan melambung tinggi, rakyat kelaparan dan terpaksa harus antri beras, minyak, gula, dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Beberapa faktor yang berperan kenaikan harga ini adalah keputusan Suharto-Nasution untuk menaikkan gaji para tentara 500% dan penganiayaan terhadap kaum pedagang Tionghoa yang menyebabkan mereka kabur. Sebagai akibat dari inflasi tersebut, banyak rakyat Indonesia yang sehari-hari hanya makan bonggol pisang, umbi-umbian, gaplek, serta bahan makanan yang tidak layak dikonsumsi lainnya; pun mereka menggunakan kain dari karung sebagai pakaian mereka.
Faktor ekonomi ini menjadi salah satu sebab kemarahan rakyat atas pembunuhan keenam jenderal tersebut, yang berakibat adanya backlash terhadap PKI dan pembantaian orang-orang yang dituduh anggota PKI di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali serta tempat-tempat lainnya.

Peristiwa

Sumur Lubang Buaya
Pada 1 Oktober 1965 dini hari, enam jenderal senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana (Cakrabirawa) yang dianggap loyal kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh Letkol. Untung. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto kemudian mengadakan penumpasan terhadap gerakan tersebut.

Isu Dewan Jenderal

Pada saat-saat yang genting sekitar bulan September 1965 muncul isu adanya Dewan Jenderal yang mengungkapkan adanya beberapa petinggi Angkatan Darat yang tidak puas terhadap Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya. Menanggapi isu ini, Soekarno disebut-sebut memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan membawa mereka untuk diadili oleh Soekarno. Namun yang tidak diduga-duga, dalam operasi penangkapan jenderal-jenderal tersebut, terjadi tindakan beberapa oknum yang termakan emosi dan membunuh Letjen Ahmad Yani, Panjaitan, dan Harjono.

Isu Dokumen Gilchrist

Dokumen Gilchrist yang diambil dari nama duta besar Inggris untuk Indonesia Andrew Gilchrist beredar hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal. Dokumen ini, yang oleh beberapa pihak disebut sebagai pemalsuan oleh intelejen Ceko di bawah pengawasan Jenderal Agayant dari KGB Rusia, menyebutkan adanya "Teman Tentara Lokal Kita" yang mengesankan bahwa perwira-perwira Angkatan Darat telah dibeli oleh pihak Barat[4]. Kedutaan Amerika Serikat juga dituduh memberikan daftar nama-nama anggota PKI kepada tentara untuk "ditindaklanjuti". Dinas intelejen Amerika Serikat mendapat data-data tersebut dari berbagai sumber, salah satunya seperti yang ditulis John Hughes, wartawan The Nation yang menulis buku "Indonesian Upheaval", yang dijadikan basis skenario film "The Year of Living Dangerously", ia sering menukar data-data apa yang ia kumpulkan untuk mendapatkan fasilitas teleks untuk mengirimkan berita.

Isu Keterlibatan Soeharto

Hingga saat ini tidak ada bukti keterlibatan/peran aktif Soeharto dalam aksi penculikan tersebut. Satu-satunya bukti yang bisa dielaborasi adalah pertemuan Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Pangkostrad (pada zaman itu jabatan Panglima Komando Strategis Cadangan Angkatan Darat tidak membawahi pasukan, berbeda dengan sekarang) dengan Kolonel Abdul Latief di Rumah Sakit Angkatan Darat.
Meski demikian, Suharto merupakan pihak yang paling diuntungkan dari peristiwa ini. Banyak penelitian ilmiah yang sudah dipublikasikan di jurnal internasional mengungkap keterlibatan Suharto dan CIA. Beberapa diantaranya adalah, Cornell Paper, karya Benedict R.O'G. Anderson and Ruth T. McVey (Cornell University), Ralph McGehee (The Indonesian Massacres and the CIA), Government Printing Office of the US (Department of State, INR/IL Historical Files, Indonesia, 1963-1965. Secret; Priority; Roger Channel; Special Handling), John Roosa (Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto's Coup d'État in Indonesia), Prof. Dr. W.F. Wertheim (Serpihan Sejarah Th65 yang Terlupakan).

Korban

Keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:
  • Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi)
  • Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi)
  • Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan dan Pembinaan)
  • Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)
  • Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik)
  • Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat)
Jenderal TNI Abdul Harris Nasution yang menjadi sasaran utama, selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan beliau, Lettu CZI Pierre Andreas Tendean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut.
Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober.
Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:

Pasca kejadian

Pemakaman para pahlawan revolusi. Tampak Mayjen Soeharto di sebelah kanan
Literatur propaganda anti-PKI yang pasca kejadian G30S banyak beredar di masyarakat dan menuding PKI sebagai dalang peristiwa percobaan "kudeta" tersebut.
Pasca pembunuhan beberapa perwira TNI AD, PKI mampu menguasai dua sarana komunikasi vital, yaitu studio RRI di Jalan Merdeka Barat dan Kantor Telekomunikasi yang terletak di Jalan Merdeka Selatan. Melalui RRI, PKI menyiarkan pengumuman tentang Gerakan 30 September yang ditujukan kepada para perwira tinggi anggota “Dewan Jenderal” yang akan mengadakan kudeta terhadap pemerintah. Diumumkan pula terbentuknya “Dewan Revolusi” yang diketuai oleh Letkol Untung Sutopo.
Di Jawa Tengah dan DI. Yogyakarta, PKI melakukan pembunuhan terhadap Kolonel Katamso (Komandan Korem 072/Yogyakarta) dan Letnan Kolonel Sugiyono (Kepala Staf Korem 072/Yogyakarta). Mereka diculik PKI pada sore hari 1 Oktober 1965. Kedua perwira ini dibunuh karena secara tegas menolak berhubungan dengan Dewan Revolusi. Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner oleh para "pemberontak" dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim di Jakarta untuk mencari perlindungan.
Pada tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan nasional", yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung "pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak melawan angkatan bersenjata. Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama "Tribune".
Pada tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin Uni-Soviet Brezhnev, Mikoyan dan Kosygin mengirim pesan khusus untuk Sukarno: "Kita dan rekan-rekan kita bergembira untuk mendengar bahwa kesehatan anda telah membaik...Kita mendengar dengan penuh minat tentang pidato anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang dan menghindari kekacauan...Imbauan ini akan dimengerti secara mendalam."
Pada tanggal 16 Oktober 1965, Sukarno melantik Mayjen Suharto menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat di Istana Negara. Berikut kutipan amanat presiden Sukarno kepada Suharto pada saat Suharto disumpah[5]:
Saya perintahkan kepada Jenderal Mayor Soeharto, sekarang Angkatan Darat pimpinannya saya berikan kepadamu, buatlah Angkatan Darat ini satu Angkatan dari pada Republik Indonesia, Angkatan Bersenjata daripada Republik Indonesia yang sama sekali menjalankan Panca Azimat Revolusi, yang sama sekali berdiri di atas Trisakti, yang sama sekali berdiri di atas Nasakom, yang sama sekali berdiri di atas prinsip Berdikari, yang sama sekali berdiri atas prinsip Manipol-USDEK. Manipol-USDEK telah ditentukan oleh lembaga kita yang tertinggi sebagai haluan negara Republik Indonesia. Dan oleh karena Manipol-USDEK ini adalah haluan daripada negara Republik Indonesia, maka dia harus dijunjung tinggi, dijalankan, dipupuk oleh semua kita. Oleh Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, Angkatan Kepolisian Negara. Hanya jikalau kita berdiri benar-benar di atas Panca Azimat ini, kita semuanya, maka barulah revousi kita bisa jaya.
Soeharto, sebagai panglima Angkatan Darat, dan sebagai Menteri dalam kabinetku, saya perintahkan engkau, kerjakan apa yang kuperintahkan kepadamu dengan sebaik-baiknya. Saya doakan Tuhan selalu beserta kita dan beserta engkau!
Dalam sebuah Konferensi Tiga Benua di Havana di bulan Februari 1966, perwakilan Uni-Sovyet berusaha dengan segala kemampuan mereka untuk menghindari pengutukan atas penangkapan dan pembunuhan orang-orang yang dituduh sebagai PKI, yang sedang terjadi terhadap rakyat Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan pujian dari rejim Suharto. Parlemen Indonesia mengesahkan resolusi pada tanggal 11 Februari, menyatakan "penghargaan penuh" atas usaha-usaha perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia, Uni-Sovyet dan negara-negara lain di Konperensi Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang berhasil menetralisir usaha-usaha para kontra-revolusioner apa yang dinamakan pergerakan 30 September, dan para pemimpin dan pelindung mereka, untuk bercampur-tangan di dalam urusan dalam negeri Indonesia."

Penangkapan dan pembantaian

Penangkapan Simpatisan PKI
Dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua anggota dan pendukung PKI, atau mereka yang dianggap sebagai anggota dan simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah (bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November) dan Bali (bulan Desember). Berapa jumlah orang yang dibantai tidak diketahui dengan persis - perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara perkiraan lain menyebut dua sampai tiga juta orang. Namun diduga setidak-tidaknya satu juta orang menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu.
Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi muslim sayap-kanan seperti barisan Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI melakukan pembunuhan-pembunuhan massal, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di tempat-tempat tertentu sungai itu "terbendung mayat".
Pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan ratusan ribu lainnya dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama sekali. Sewaktu regu-regu militer yang didukung dana CIA [1] menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan melakukan pembantaian keji terhadap mereka, majalah "Time" memberitakan:
"Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam skala yang sedemikian sehingga pembuangan mayat menyebabkan persoalan sanitasi yang serius di Sumatera Utara, di mana udara yang lembap membawa bau mayat membusuk. Orang-orang dari daerah-daerah ini bercerita kepada kita tentang sungai-sungai kecil yang benar-benar terbendung oleh mayat-mayat. Transportasi sungai menjadi terhambat secara serius."
Di pulau Bali, yang sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000 orang menjadi korban di permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elite Partai Nasional Indonesia, adalah pelaku pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden khusus dari Frankfurter Allgemeine Zeitung bercerita tentang mayat-mayat di pinggir jalan atau dibuang ke dalam galian-galian dan tentang desa-desa yang separuh dibakar di mana para petani tidak berani meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka yang sudah hangus.
Di daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh teman-teman mereka untuk membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan rasialis "anti-Tionghoa" terjadi. Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai pemerintah yang mengadakan aksi mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini dipecat.
Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi. Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik pada akhir 1969. Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang, termasuk belasan orang sejak tahun 1980-an. Empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak kudeta itu.

Supersemar

Lima bulan setelah itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno memberi Suharto kekuasaan tak terbatas melalui Surat Perintah Sebelas Maret. Ia memerintah Suharto untuk mengambil "langkah-langkah yang sesuai" untuk mengembalikan ketenangan dan untuk melindungi keamanan pribadi dan wibawanya. Kekuatan tak terbatas ini pertama kali digunakan oleh Suharto untuk melarang PKI. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Sukarno dipertahankan sebagai presiden tituler diktatur militer itu sampai Maret 1967.
Kepemimpinan PKI terus mengimbau massa agar menuruti kewenangan rejim Sukarno-Suharto. Aidit, yang telah melarikan diri, ditangkap dan dibunuh oleh TNI pada tanggal 24 November, tetapi pekerjaannya diteruskan oleh Sekretaris Kedua PKI Nyoto.

Pertemuan Jenewa, Swiss

Menyusul peralihan tampuk kekuasaan ke tangan Suharto, diselenggarakan pertemuan antara para ekonom orde baru dengan para CEO korporasi multinasional di Swiss, pada bulan Nopember 1967. Korporasi multinasional diantaranya diwakili perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel, ICI, Leman Brothers, Asian Development Bank, dan Chase Manhattan. Tim Ekonomi Indonesia menawarkan: tenaga buruh yang banyak dan murah, cadangan dan sumber daya alam yang melimpah, dan pasar yang besar.
Hal ini didokumentasikan oleh Jhon Pilger dalam film The New Rulers of World (tersedia di situs video google) yang menggambarkan bagaimana kekayaan alam Indonesia dibagi-bagi bagaikan rampasan perang oleh perusahaan asing pasca jatuhnya Soekarno. Freeport mendapat emas di Papua Barat, Caltex mendapatkan ladang minyak di Riau, Mobil Oil mendapatkan ladang gas di Natuna, perusahaan lain mendapat hutan tropis. Kebijakan ekonomi pro liberal sejak saat itu diterapkan.

Peringatan

Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya
Sesudah kejadian tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September (G-30-S/PKI). Hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Pada masa pemerintahan Soeharto, biasanya sebuah film mengenai kejadian tersebut juga ditayangkan di seluruh stasiun televisi di Indonesia setiap tahun pada tanggal 30 September. Selain itu pada masa Soeharto biasanya dilakukan upacara bendera di Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya dan dilanjutkan dengan tabur bunga di makam para pahlawan revolusi di TMP Kalibata. Namun sejak era Reformasi bergulir, film itu sudah tidak ditayangkan lagi dan hanya tradisi tabur bunga yang dilanjutkan.
Pada 29 September - 4 Oktober 2006, para eks pendukung PKI mengadakan rangkaian acara peringatan untuk mengenang peristiwa pembunuhan terhadap ratusan ribu hingga jutaan jiwa di berbagai pelosok Indonesia. Acara yang bertajuk "Pekan Seni Budaya dalam rangka memperingati 40 tahun tragedi kemanusiaan 1965" ini berlangsung di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok. Selain civitas academica Universitas Indonesia, acara itu juga dihadiri para korban tragedi kemanusiaan 1965, antara lain Setiadi, Murad Aidit, Haryo Sasongko, dan Putmainah.
Sumber : [1]