Jumat, 26 September 2014

Sekilas CERPEN: SEBUAH PENYAMARAN


Siang itu Aris, Dudung, dan Hari pulang sekolah mengendarai sepeda
           BMX. Kebetulan rumah mereka bertiga berdekatan. Sepanjang
           perjalanan mereka bercanda ria. Saling kebut-kebutan atau lepas stang.
           “Eh, ada orang gila. Kita ganggu,  yuk,” Hari menghentikan sepedanya. Di depan sebuah rumah mewah, ada orang gila berpakaian lusuh sedang merokok.
           “Jangan, kasihan, “ Aris menolak.
           “Alaaa, jangan sok alim kamu, Ris .”
           “Sama orang gila, kok, pakai kasihan segala, sih,Ris,” celetuk Dudung.
           “Iya dong. Meski gila, dia, kan, manusia juga. Kita harus mengasihi sesama manusia, “ sahut Aris serius.
           “Waduh, mentang-mentang rajin sekolah minggu, bicaramu kayak Pak Pendeta, Ris,” canda Hari. Ia membatalkan niatnya menggoda orang gila itu.
            Mereka kembali melanjutkan perjalanan pulang.
            Esok harinya di tempat yang sama, Aris melihat empat anak SD Panjang  IV menggoda lelaki gila itu. Mereka melempari lelaki itu dengan batu kecil. Sebagian ada yang kena. Orang gila itu berteriak-teriak kesakitan.
             “Hei, jangan ganggu dia!” seru Aris sambil menghentikan sepedanya.
             Anak-anak itu menoleh dengan marah. Ical, pimpinan kelompok itu, menghampiri Aris.
            “Ngomong apa kamu, Ris ?” seru Ical.
            “Jangan ganggu orang gila itu. Kasihan. “
            “Memangnya dia om kamu ya ?” sindir Ical, disambut tawa yang lainnya.
            “Bukan. Tapi jangan semena-mena pada sesama manusia,” tegas Aris.
            “Kalau kami nekat, memangnya kamu mau apa ? Nantang ?” sambut Ical geram. Aris segera menstandarkan sepedanya diikuti Dudung dan Hari.
            “Terserah apa katamu. “
            “Ah, banyak mulut kamu, “ Ical mengarahkan sebuah pukulan ke muka Aris. Tapi karena jago karate, dengan mudah Aris mengelak. Untunglah sebelum perkelahian berlanjut, seorang pedagang cendol yang dari tadi nongkrong di tempat itu melerai mereka.
            “Kamu berani betul, Ris. Ical itu, kan, kepala gengnya anak SD Panjang  IV ,” kata Hari setelah melanjutkan perjalanan ke sekolah.
            “Kenapa harus takut. Kita tidak salah. Yang mulai, kan, dia,” sahut Aris.
            “Tapi ngomong-ngomong, kamu, kok, selalu membela orang gila itu,  sih, Ris.  Memangnya kenapa, sih ?”
            “Ya, aku cuma kasihan,” sahut Aris.
            “Jadi dia bukan om kamu, kan ?” canda Dudung.
            “Uh, kamu, Dung!” Aris berusaha menendang kaki Dudung, tapi dengan tangkas temannya itu menghindar.
             Aris sendiri tidak tahu, kenapa dia sangat kasihan pada orang gila itu. Padahal kenal juga tidak. Mungkin karena orang gila itu hanya diam walau dilempari batu dan disorak-soraki. Mas Antok, guru karatenya, juga selalu berkata bahwa dia harus menolong orang yang lemah.
            “Eh, Ris. Bagaimana nanti kalau Ical dan teman-temannya masih dendam dan mencegat kita ?” tanya Hari.
            “Siapa takut. Kita lawan aja semampunya,“ sahut Aris cuek.
             Akan tetapi, saat pulang sekolah siang harinya, sepeda Aris dan teman-temannya dihentikan oleh penjual cendol yang melerai tadi pagi.
            “Ada apa, Pak ? Apa Ical mau mencegat saya ?” tanya Aris.
           “Oh, bukan. Pokoknya kalian jangan lewat jalan ini dulu, berbahaya.    Bisa-bisa kalian tertembak,” ujar si penjual cendol, sambil mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya. Ternyata pistol! Aris, Dudung, dan Hari gemetar.
         Sesaat kemudian, terdengar bunyi tembakan ke udara. Seorang pemuda berlari keluar dari rumah mewah. Namun sampai di jalan besar, kakinya dijegal oleh orang gila itu.
         “Jangan lari! Kamu sudah dikepung! Menyerah saja!” seru si orang gila seraya mengacungkan pistol di tangannya. Tak lama kemudian beberapa orang menghambur kesana. Pemuda yang lari tadi segera diborgol.
         “Maaf ya, adik-adik. Kami sebenarnya intel yang sedang menyamar. Pemuda yang ditangkap itu adalah buronan. Sudah beberapa hari kami mengawasi rumah mewah ini, “ cerita si penjual cendol itu.
        “Lantas orang gila itu siapa, Pak ?” tanya Aris ragu-ragu.
        “Dia adalah Letnan Alex, komandan kami.”
        “Haaa ?” Aris, Dudung dan Hari berteriak bersamaan.
        “Oh ya, terima kasih ya, Dik. Tadi pagi kamu telah membela Pak Alex ketika dilempari batu oleh anak-anak nakal itu. Hebat kamu. Siapa namamu ?’
        “Aris, Pak.”
        “Ya, kamu hebat, Ris. Terus terang saya kagum pada keberanian dan kebaikan hatimu. Andai tidak ada kamu, mungkin penyamaran tadi pagi bisa saja gagal gara-gara ulah anak-anak itu,” puji Sersan Nanto yang menyamar menjadi penjual cendol. Aris nampak tersipu-sipu. Namun ia merasa bangga juga. Apalagi ketika kemudian dia bisa berkenalan dengan Inspektur Satu Alex, yang ramah.
       “Panggil saja Om Alex, Ris. Om Alex yang gila,” canda perwira itu.
       “Ah, Om bisa aja,” sahut Aris tersipu malu.
      Beberapa saat kemudian datanglah mobil kijang patroli. Pemuda itu segera dinaikkan ke mobil dan dibawa ke kantor polisi. Aris dan teman-temannya masih tercekam dengan pengalaman yang barusan mereka alami.
                               
Oleh : Tri Winoyo
Dikutip dari: Kumpulan Cerpen – Pustaka Ola Hal.129-137

0 komentar: