Jumat, 26 September 2014

Sekilas CERPEN: SI JUMBO


Namanya Anggara. Ia murid kelas enam SD. Karena tubuhnya
        lebih besar dibanding teman-teman sekelasnya, ia dijuluki Si Jumbo. Beberapa hari ini, Jumbo punya kebiasaan baru. Yaitu, makan ketupat sayur setiap pagi sebelum masuk ke kelas. Jumbo suka sekali makan ketupat sayur buatan Pak Kiran, warung baru di seberang sekolahnya. Kadang ia makan sampai dua porsi. Semangat belajarnya bangkit jika ia sudah makan ketupat itu.
         Warung Pak Kiran terbuat dari bambu beratap daun kelapa kering. Baru dibuka dua bulan lalu. Di situlah tempat ia meletakkan pikulan ketupat sayurnya. Pak Kiran sangat sabar dan ramah saat melayani anak-anak.
          Pagi ini Jumbo turun dari sedan biru milik ayahnya. Sebelum masuk ke kelas, seperti biasa ia berlari ke warung Pak Kiran. Wajahnya kecewa sekali ketika melihat warung itu tutup. Badannya yang besar berjalan lesu. Gawat! Aku bisa kelaparan nih, bisik Jumbo di dalam hati.
          “Wah, si Jumbo bakalan tidak semngat di kelas. Makanan utamanya tidak ada, sih,” kata Tono yang berkacamata tebal, teman sekelas Jumbo.
          “Betul. Aku juga rugi, nih. Hari ini tidak ada yang traktir ketupat sayur,” tambah Arif yang tubuhnya paling kecil di kelas.
          Mendengar ledekan kedua teman akrabnya itu, Anggara si Jumbo tertawa lebar. Matanya menghilang tertutup pipinya yang tembem. Tiba-tiba Nita, teman sekelas mereka, melintas cepat dengan langkah angkuh. Tiga sekawan tadi menjadi bingung dan bertanya-tanya. Akhir-akhir ini sikap Nita menjadi berbeda pada mereka. Apa salah mereka ?
          Tiga hari pun berlalu. Tono, Arif, dan anak-anak lainnya tidak memperhatikan kalau warung ketupat sayur Pak Kiran sudah tutup selama tiga hari. Namun Anggara si Jumbo tahu persis. Sebab setiap hari setelah turun dari sedan biru ayahnya, ia selalu menengok ke arah warung itu. Dan hatinya selalu kecewa saat melihat warung yang tertutup itu.
           Jumbo lalu memutuskan untuk mencari alamat rumah Pak Kiran. Arif dan Tono menemaninya. Mereka bertiga mencari informasi dari penjual bakso dan penjual siomay. Lalu mereka mencari alamat Pak Kiran dengan bersepeda. Setelah beberapa kali bertanya, akhirnya mereka menenukan rumah Pak Kiran.
           Rumah Pak Kiran tampak sederhana, bersih, dengan halaman cukup luas. Wajah Anggara terlihat gembira ketika melihat pikulan ketupat sayur di pojok dalam teras rumah itu. Usaha mereka tidak sia-sia. Istri Pak Kiran menyambut mereka ramah, dan mempersilahkan duduk di kursi panjang bambu. Sejuk sekali udara di dalam rumah itu.
           Tidak lama kemudian, dari balik tirai bermotif bunga matahari, muncul Pak Kiran. Dia mengenakan sarung dan kaus putih. Dengan tawanya yang khas, Pak Kiran menyambut Jumbo, Tono, dan Arif.
Wajahnya sedikit pucat. Plester koyo masih melekat di kiri-kanan keningnya.
           “Pak Kiran, jangan terlalu lama dong, cutinya. Kita kangen,  nih, sama ketupat sayurnya,” canda Anggara si Jumbo.
           “Cuti ? Memangnya Pak Kiran ini pegawai kantor ?” tawanya.
           Suasana menjadi sangat akrab dan meriah. Pak Kiran pandai bercerita lucu. Anggara si Jumbo, Tono, Arif sampai tertawa terpingkal-pingkal. Pak Kiran pun merasa terhibur. Rasa demamnya segera hilang. Ia berjanji akan segera berjualan kembali.
            Hari telah menjelang magrib. Ketiga anak itu pamit pulang. Mereka menyerahkan bungkusan apel dan jeruk kepada Pak Kiran dan istrinya. Sementara itu di balik tirai bermotif bunga matahari, Nita mengawasi kepergian mereka. Selama ini mereka tidak tahu kalau Pak Kiran adalah ayahnya. Hatinya terharu melihat Anggara si Jumbo, Tono, dan Arif memperhatikan ayahnya. Sementara ia serdiri merasa malu ketika ayahnya memutuskan untuk berjualan ketupat sayur di depan sekolahnya. Dulu, ayahnya bekerja di sebuah restoran.
              Esoknya, Anggara si Jumbo kembali berdiri memandang ke seberang jalan. Kalau-kalau Pak Kiran sudah mulai berjualan. Namun ia memandang bingung melihat Nita berdiri di sana dengan rantang di tangannya. Rantang itu bersusun tiga.
               Anggara si Jumbo melangkah gagah menyeberangi jalan. Hidungnya mencium bau masakan yang selama ini dirindukan. Aroma ketupat sayur dan semur tahu. Wajahnya tiba-tiba berubah cerah.
              “Ini dari Pak Kiran,” Nita menyerahkan rantang itu. Tentu saja Anggara si Jumbo menerima dengan senang sekali.
              “Maaf, aku kemarin tidak keluar ketika kalian datang. Terima kasih sudah menjenguk ayahku. Ayahku akan kembali
berdagang besok,” cerita Nita singkat, kemudian bergegas jalan.
               Anggara si Jumbo tertegun mendengarkan, namun cepat-cepat ia berseru sebelum Nita menyeberangi jalan, “Terima kasih, Nit. Ayahmu itu hebat!”
               Nita menengok dan tersenyum. Setelah Nita pergi, Jumbo segera membuka rantang bersusun tiga itu. Ketupat sayur dan semur tahu.
               “Wah asyiiiik!” serunya. Belum sempat ia menyantap, Tono,dan Arif datang bergabung.
               “Pak Kiran tadi kemari, ya ?” tanya Tono menyelidik.
               “Iya,” kata Anggara, sementara mulutnya penuh dengan ketupat sayur.
                Di seberang jalan, Nita melihat ketiga temannya itu makan dengan lahap ketupat sayur dan semur tahu bikinan ayahnya tercinta.
                “Sekali lagi terima kasih, teman-temanku,” kata Nita dalam hati.

Oleh: Mahdy ZA
Dikutip dari: Kumpulan Cerpen Pustaka Ola Hal.139-144

0 komentar: