Siang itu Aris, Dudung, dan Hari pulang sekolah mengendarai sepeda
BMX. Kebetulan
rumah mereka bertiga berdekatan. Sepanjang
perjalanan mereka bercanda ria. Saling
kebut-kebutan atau lepas stang.
“Eh, ada orang
gila. Kita ganggu, yuk,” Hari
menghentikan sepedanya. Di depan sebuah rumah mewah, ada orang gila berpakaian
lusuh sedang merokok.
“Jangan, kasihan,
“ Aris menolak.
“Alaaa, jangan sok
alim kamu, Ris .”
“Sama orang gila,
kok, pakai kasihan segala, sih,Ris,” celetuk Dudung.
“Iya dong. Meski
gila, dia, kan, manusia juga. Kita harus mengasihi sesama manusia, “ sahut Aris
serius.
“Waduh,
mentang-mentang rajin sekolah minggu, bicaramu kayak Pak Pendeta, Ris,” canda
Hari. Ia membatalkan niatnya menggoda orang gila itu.
Mereka kembali
melanjutkan perjalanan pulang.
Esok harinya di
tempat yang sama, Aris melihat empat anak SD Panjang IV menggoda lelaki gila itu. Mereka melempari
lelaki itu dengan batu kecil. Sebagian ada yang kena. Orang gila itu
berteriak-teriak kesakitan.
“Hei, jangan
ganggu dia!” seru Aris sambil menghentikan sepedanya.
Anak-anak itu
menoleh dengan marah. Ical, pimpinan kelompok itu, menghampiri Aris.
“Ngomong apa
kamu, Ris ?” seru Ical.
“Jangan ganggu
orang gila itu. Kasihan. “
“Memangnya dia om kamu ya ?” sindir Ical,
disambut tawa yang lainnya.
“Bukan. Tapi
jangan semena-mena pada sesama manusia,” tegas Aris.
“Kalau kami
nekat, memangnya kamu mau apa ? Nantang ?” sambut Ical geram. Aris segera
menstandarkan sepedanya diikuti Dudung dan Hari.
“Terserah apa
katamu. “
“Ah, banyak mulut
kamu, “ Ical mengarahkan sebuah pukulan ke muka Aris. Tapi karena jago karate,
dengan mudah Aris mengelak. Untunglah sebelum perkelahian berlanjut, seorang
pedagang cendol yang dari tadi nongkrong di tempat itu melerai mereka.
“Kamu berani
betul, Ris. Ical itu, kan, kepala gengnya anak SD Panjang IV ,” kata Hari setelah melanjutkan
perjalanan ke sekolah.
“Kenapa harus
takut. Kita tidak salah. Yang mulai, kan, dia,” sahut Aris.
“Tapi
ngomong-ngomong, kamu, kok, selalu membela orang gila itu, sih, Ris.
Memangnya kenapa, sih ?”
“Ya, aku cuma
kasihan,” sahut Aris.
“Jadi dia bukan
om kamu, kan ?” canda Dudung.
“Uh, kamu, Dung!”
Aris berusaha menendang kaki Dudung, tapi dengan tangkas temannya itu
menghindar.
Aris sendiri
tidak tahu, kenapa dia sangat kasihan pada orang gila itu. Padahal kenal juga
tidak. Mungkin karena orang gila itu hanya diam walau dilempari batu dan
disorak-soraki. Mas Antok, guru karatenya, juga selalu berkata bahwa dia harus
menolong orang yang lemah.
“Eh, Ris.
Bagaimana nanti kalau Ical dan teman-temannya masih dendam dan mencegat kita ?”
tanya Hari.
“Siapa takut.
Kita lawan aja semampunya,“ sahut Aris cuek.
Akan tetapi,
saat pulang sekolah siang harinya, sepeda Aris dan teman-temannya dihentikan
oleh penjual cendol yang melerai tadi pagi.
“Ada apa, Pak ?
Apa Ical mau mencegat saya ?” tanya Aris.
“Oh, bukan.
Pokoknya kalian jangan lewat jalan ini dulu, berbahaya. Bisa-bisa kalian tertembak,” ujar si penjual
cendol, sambil mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya. Ternyata pistol! Aris,
Dudung, dan Hari gemetar.
Sesaat kemudian,
terdengar bunyi tembakan ke udara. Seorang pemuda berlari keluar dari rumah
mewah. Namun sampai di jalan besar, kakinya dijegal oleh orang gila itu.
“Jangan lari! Kamu
sudah dikepung! Menyerah saja!” seru si orang gila seraya mengacungkan pistol
di tangannya. Tak lama kemudian beberapa orang menghambur kesana. Pemuda yang
lari tadi segera diborgol.
“Maaf ya, adik-adik.
Kami sebenarnya intel yang sedang menyamar. Pemuda yang ditangkap itu adalah
buronan. Sudah beberapa hari kami mengawasi rumah mewah ini, “ cerita si
penjual cendol itu.
“Lantas orang gila
itu siapa, Pak ?” tanya Aris ragu-ragu.
“Dia adalah Letnan
Alex, komandan kami.”
“Haaa ?” Aris, Dudung
dan Hari berteriak bersamaan.
“Oh ya, terima kasih
ya, Dik. Tadi pagi kamu telah membela Pak Alex ketika dilempari batu oleh
anak-anak nakal itu. Hebat kamu. Siapa namamu ?’
“Aris, Pak.”
“Ya, kamu hebat, Ris.
Terus terang saya kagum pada keberanian dan kebaikan hatimu. Andai tidak ada
kamu, mungkin penyamaran tadi pagi bisa saja gagal gara-gara ulah anak-anak
itu,” puji Sersan Nanto yang menyamar menjadi penjual cendol. Aris nampak
tersipu-sipu. Namun ia merasa bangga juga. Apalagi ketika kemudian dia bisa
berkenalan dengan Inspektur Satu Alex, yang ramah.
“Panggil saja Om Alex,
Ris. Om Alex yang gila,” canda perwira itu.
“Ah, Om bisa aja,” sahut
Aris tersipu malu.
Beberapa saat kemudian datanglah mobil
kijang patroli. Pemuda itu segera dinaikkan ke mobil dan dibawa ke kantor
polisi. Aris dan teman-temannya masih tercekam dengan pengalaman yang barusan
mereka alami.
Oleh : Tri Winoyo
Dikutip dari: Kumpulan Cerpen –
Pustaka Ola Hal.129-137
0 komentar:
Posting Komentar