2. Musik Campursari
a. Pengertian
Musik Campursari adalah Musik yang merupakan paduan dari
musik kerawitan dan dangdut.
b. Fungsi
Melestarikan
budaya bangsa dalam hal ini campursari.
c. Tentang
Istilah campursari dalam
dunia musik nasional Indonesia mengacu pada campuran (crossover)
beberapa genre musik kontemporer Indonesia. Nama campursari diambil dari bahasa Jawa yang sebenarnya bersifat umum. Musik
campursari di wilayah Jawa bagian tengah hingga timur khususnya terkait dengan
modifikasi alat-alat musik gamelan sehingga dapat dikombinasi dengan
instrumen musik barat, atau sebaliknya. Dalam kenyataannya, instrumen-instrumen
'asing' ini 'tunduk' pada pakem musik yang disukai masyarakat setempat: langgam Jawa dan gending.
Campursari pertama kali dipopulerkan
oleh Manthous dengan memasukkan keyboard ke dalam orkestrasi gamelan pada
sekitar akhir dekade 1980-an melalui kelompok gamelan "Maju Lancar".
Kemudian secara pesat masuk unsur-unsur baru seperti langgam Jawa (keroncong)
serta akhirnya dangdut. Pada dekade
2000-an telah dikenal bentuk-bentuk campursari yang merupakan campuran gamelan
dan keroncong (misalnya Kena
Goda dari Nurhana), campuran
gamelan dan dangdut, serta campuran keroncong dan dangdut (congdut, populer dari
lagu-lagu Didi Kempot). Meskipun perkembangan campursari banyak dikritik oleh
para pendukung kemurnian aliran-aliran musik ini, semua pihak sepakat bahwa
campursari merevitalisasi musik-musik tradisional di wilayah tanah Jawa.
Mungkin belum begitu banyak orang
mengetahui sejarah musik campursari yang saat ini banyak disukai oleh para penggemarnya
baik dari kawula muda ataupun orang tua,musik campursari asal muasalnya yang
memperkenalkan adalah dalang kondang dari kota semarang yaitu Ki Narto
sabdo,akan tetapi campursari yang waktu itu musiknya masih menggunakan gamelan
jawa cuma lagu yang dinyanyikan irama atau gending yang nadanya dibikin dangdut
ataupun lagu yang dinyanyikan bukan tembang-tembang yang berirama mocopat
ataupun berjenis langgam. pada perkembanganya musik campursari semakin kedepan
semakin modern dengan memasukan unsur alat musik modern seperti organ,
guitar,bas dan lain sebagainya. Banyak kita ketahui pendobrak musik campur sari
seperti sekarang ini yaitu Manthous, bersama grupnya CSGK(campursari gunung
kidul) memberikan warna tersendiri terhadap perkembangan musik campursari
seperti saat ini. musik campursari adalah murni musik jawa yang telah menjadi
musik nasional dan banyak digemari semua golongan dan lapisan masyarakat.
d. Alat Musik
-Saron : Saron atau
yang biasanya disebut juga ricik ,adalah salah satu instrumen gamelan yang
termasuk keluarga balungan.
Dalam satu set gamelan biasanya
mempunyai 4 saron, dan semuanya memiliki versi pelog dan slendro. Saron
menghasilkan nada satu oktaf lebih tinggi daripada demung, dengan ukuran fisik
yang lebih kecil. Tabuh saron biasanya terbuat dari kayu, dengan bentuk seperti
palu.
-Ketipung
-Keyboard
-Drum
-Gitar
-Bass Elektrik : Gitar bass elektrik (biasa disebut Bass elektrik atau bass saja) adalah alat musik dawai yang menggunakan listrik untuk
memperbesar suaranya. Penampilannya mirip dengan gitar listrik tapi ia memiliki tubuh yang lebih
besar, leher yang lebih panjang, dan biasanya memiliki empat senar
(dibandingkan dengan gitar yang memiliki enam senar).
e. Sejarah
Secara harfiah
campursari artinya campur aduk, campur baur atau gabungan dari beraneka
macam dan ragam. Campursari merupakan salah satu bentuk kesenian musik yang
hidup berasal dari Jawa. Bentuk musik ini merupakan perpaduan permainan alat
musik berskala nada pentatonis (tradisional Indonesia) dan berskala
nada diatonis (Barat), dimana dalam musik ini para seniman mencoba memadukan
dua unsur musik yang berbeda untuk dapat memunculkan suatu bentuk musik
yang baru.Campursari ini konon dipopulerkan oleh Ki Narto Sabdo melalui
pertunjukan wayangkulit yang dimainkannya, namun musik campursari yang
disuguhkannya masih dalam bentuk corak lama yaitu perpaduan gamelan asli
dengan keroncong. Sementara campursari yang adasekarang lebih dikenal dengan
campursari modern yang dipopulerkan oleh Manthous bersama
saudara-saudaranya pada awal tahun 1993.
Manthos dengan kepekaaan musikalitasnya mengadakan inovasi
besar-besaran terhadap campursari lama. Ia mencoba menggabungkan alat-alat
musik tradisional jawa klasik seperti kendang, gong dan gender dipadu
dengan alat musik keroncong seperti ukelele, cak dan cuk, seruling, bass betot,
sertainstrument lainnya. Perpaduan alat musik tersebut menghasikan irama yang
lumayan enak,terasa komplet, dan ada gregetnya jika dibandingkan irama kroncong
maupun gending jawaklasik sebelumnya.Manthos juga mencoba bereksperimen dengan
memasukkan instrument pengganti bass betot dan gitar klasik, yaitu dengan
memasukkan bass dan gitar elektrik serta keyboard(piano elektrik) untuk
menggantikan seruling dan ukelele.
Kehadiran keyboard ini semakinmenghidupkan musikalitas
campursari dan bunyi yang dihasilkan sangat sempurna. Ada lagitambahan berupa
seperangkat drum, terciptalah kesempurnaan yang diinginkan dari
musik campursari yang sesungguhnya. Selain itu dia juga mengadopsi musik
dangdut ke dalammusik campursari ini walaupun tidak secara ekplisit, melainkan
dalam beberapa baristertentu. Pada pertengahan tahun 1990-an, muncullah
musisi-musisi campursari sepertiMaryati, Waljinah, Ngatirah, serta Didi Kempot.
f. Perkembangan
Kini dikenal
bentuk-bentuk campursari yang merupakan campuran gamelan dan keroncong
(misalnya Kena Goda dari Nurhana), campuran gamelan dan dangdut, serta campuran
keroncong dan dangdut (congdut, populer dari lagu-lagu Didi Kempot). Meski
perkembangan campursari banyak dikritik oleh para pendukung kemurnian
aliran-aliran musik ini, semua pihak sepakat bahwa campursari merevitalisasi
musik-musik tradisional di wilayah tanah Jawa.
Memang pada awal kemunculannya seputar 1993, jenis musik campursari banyak diperdebatkan para seniman dan pekerja seni. Ada yang berpendapat, jika seni gado-gado itu dibiarkan tumbuh, sama artinya dengan mencabik-cabik pakem irama musik keroncong. Di sini termasuk jenis-jenis seni keroncong yang di dalamnya ada langgam, stambul, serta keroncong asli sendiri. Pihak lain berargumentasi, kalau tetap berprinsip pada pakem keroncong murni, musik yang satu ini akan semakin dihindari kalangan muda.
Mengacu pada perkembangan kesenian tradisi, seperti wayang kulit, pendapat terakhir ini tidak bisa dibantah. Dengan pembaharuan di sana-sini, ternyata kesenian wayang yang konon peninggalan Sunan Kalijaga tersebut mendapat respons luar biasa, terutama dari generasi muda.
Namun di luar seluruh kritik yang menerpa perkembangan campursari, kegiatan bermusiknya menyelusup jauh ke pelosok, bahkan, konon berhasil mengungguli dangdut. Kalau terbukti benar, hal ini menunjukkan betapa kuat pengaruhnya terhadap kehidupan sehari-hari rakyat setempat. Di dalam masa lebih dari seperempat abad, dangdut adalah kekuatan dahsyat yang melanda ke segala penjuru.
Sungguh kekuatan yang luar biasa, namun kini giliran campursari. Pengaruhnya tidak kalah hebat di berbagai komunitas, terutama di tengah masyarakat Jawa. Usut punya usut ternyata ada sebuah alasan kekuatan campursari ini, yakni kebebasan berekspresi di dalamnya. Kebebasan itu tidak mungkin didapat pada pertunjukan seni tradisional semacam wayang kulit atau klenengan. Kebebasan berekspresi itu menyangkut cara membawakan lagu yang begitu pasif pada sajian wayang kulit atau klenengan, sedangkan di musik campursari seorang penyanyi bisa membawakan lagu dengan berdiri sambil bergoyang-goyang.
Maka tidak heran jika campursari kini berkembang dengan pesat. Bukankah hakekat kesenian secara umum adalah medium ekspresi intelektual dan kultural manusia?
Memang pada awal kemunculannya seputar 1993, jenis musik campursari banyak diperdebatkan para seniman dan pekerja seni. Ada yang berpendapat, jika seni gado-gado itu dibiarkan tumbuh, sama artinya dengan mencabik-cabik pakem irama musik keroncong. Di sini termasuk jenis-jenis seni keroncong yang di dalamnya ada langgam, stambul, serta keroncong asli sendiri. Pihak lain berargumentasi, kalau tetap berprinsip pada pakem keroncong murni, musik yang satu ini akan semakin dihindari kalangan muda.
Mengacu pada perkembangan kesenian tradisi, seperti wayang kulit, pendapat terakhir ini tidak bisa dibantah. Dengan pembaharuan di sana-sini, ternyata kesenian wayang yang konon peninggalan Sunan Kalijaga tersebut mendapat respons luar biasa, terutama dari generasi muda.
Namun di luar seluruh kritik yang menerpa perkembangan campursari, kegiatan bermusiknya menyelusup jauh ke pelosok, bahkan, konon berhasil mengungguli dangdut. Kalau terbukti benar, hal ini menunjukkan betapa kuat pengaruhnya terhadap kehidupan sehari-hari rakyat setempat. Di dalam masa lebih dari seperempat abad, dangdut adalah kekuatan dahsyat yang melanda ke segala penjuru.
Sungguh kekuatan yang luar biasa, namun kini giliran campursari. Pengaruhnya tidak kalah hebat di berbagai komunitas, terutama di tengah masyarakat Jawa. Usut punya usut ternyata ada sebuah alasan kekuatan campursari ini, yakni kebebasan berekspresi di dalamnya. Kebebasan itu tidak mungkin didapat pada pertunjukan seni tradisional semacam wayang kulit atau klenengan. Kebebasan berekspresi itu menyangkut cara membawakan lagu yang begitu pasif pada sajian wayang kulit atau klenengan, sedangkan di musik campursari seorang penyanyi bisa membawakan lagu dengan berdiri sambil bergoyang-goyang.
Maka tidak heran jika campursari kini berkembang dengan pesat. Bukankah hakekat kesenian secara umum adalah medium ekspresi intelektual dan kultural manusia?
f. Tokoh & Penyanyi
-
Banyak tokoh dan penyanyi yang akrab dengan
campursari, tapi hanya beberapa yang sudah dikenal luas oleh masyarakat
diantaranya:
1. Manthous
Manthous
lahir di Desa Playen, Gunung Kidul pada tahun 1950. Ketika berusia 16 tahun,
Manthous memberanikan diri pergi ke Jakarta. Pilihan utamanya adalah hidup
ngamen, yang ia anggap mewakili bakatnya. Namun, pada tahun 1969 dia bergabung
dengan orkes keroncong Bintang Jakarta pimpinan Budiman BJ. Kemudian, pada
tahun tahun 1976, Manthous yang juga piawai bermain bass mendirikan
grup band Bieb Blues berciri funky rock bersama dengan Bieb anak Benyamin S.
Bieb Blues bertahan hingga tahun 1980. Kemudian, Manthous bergabung dengan Idris
Sardi, dalam grup Gambang Kromong Benyamin S. Selain itu, sebelumnya ia pernah
juga menjadi pengiring Bing Slamet ketika tampil melawak dalam Grup Kwartet
Jaya.
Kelihatannya semua pengalaman inilah yang
membuat Manthous menguasai aliran musik apa pun. Dalam khazanah dangdut,
bahkan, dia juga menjadi panutan karena mampu mencipta trik-trik permainan bass, yang kemudian ditiru oleh para pemain bass dangdut sekarang.
Pada tahun 1993, Manthous mendirikan Grup
Musik Campursari Maju Lancar Gunung Kidul. Garapannya menampilkan kekhasan
campursari dengan langgam-langgam Jawa yang sudah ada. Ada warna rock, reggae,
gambang kromong, dan lainnya. Ada juga tembang Jawa murni seperti Kutut
Manggung, atau Bowo Asmorondono, dengan gamelan yang diwarnai keyboard dan gitar
bas. Bersama grup musik yang berdiri tahun 1993 dan beranggotakan saudara atau
rekan sedaerah di Playen, Gunungkidul, Yogyakarta itu, Manthous menyelesaikan
sejumlah volume rekaman di Semarang. Omzet penjualan mencapai 50.000 kaset
setiap volume, tertinggi dibanding kaset langgam atau keroncong umumnya pada
tahun-tahun pertengahan 1990-an.Di samping menyanyi sendiri dalam kegiatan
rekaman itu Manthuos juga menampilkan suara penyanyi Sulasmi dari Sragen, Minul
dari Gunungkidul, dan Sunyahni dari Karanganyar. Beberapa lagunya yang populer
di antaranya Anting-anting, Nyidamsari, Gandrung, dan Kutut Manggung.
Namun, karya besarnya yang banyak dikenal oleh orang
Indonesia adalah Getuk yang pertama kali dipopulerkan
oleh NurafniOctavia. Sampai sebelum akhirnya terkena serangan stroke,
Manthous bersama Grup Campursari Maju Lancar Gunungkidul menjadi kiblat bagi
para pencinta lagu-lagu langgam Jawa dan campursari.
2. Didi
Kempot
Didi Prasetyo, atau
lebih dikenal dengan Didi Kempot, adalah tokoh campursari pasca-Manthous. Didi
Kempot yang lahir di Solo, 31 Desember 1966, itu hanya jebolan kelas II SMA.
Awalnya anak dari
Ranto Eddy Gudel, pelawak terkenal dari Solo itu adalah seorang pengamen. Dari
dunia "jalanan" itulah, lahir lagu-lagunya yang kemudian menjadi hit,
seperti Stasiun Balapan, Terminal Tirtonadi, Tulung, Cucak Rowo, Wen-Cen-Yu,
Yang Penting Hepi, dan Moblong Moblong. Khusus untuk Cucak Rowo, sebenarnya
lagu ini merupakan remake atau pembuatan ulang dari lagu lama
di Indonesia.
Saat ini, nama Didi
Kempot sangat terkenal dan selalu dikaitkan dengan langgam Jawa dan Campursari.
Didi tidak hanya terkenal di Indonesia, tetapi juga Suriname dan Belanda. Di
kalangan masyarakat Jawa atau keturunan Jawa, dia dianggap sebagai superstar.
Bahkan, ketika Presiden Suriname, Weyden Bosch datang berkunjung ke
Indonesia pada tahun 1998, beliau mengundang Didi secara pribadi. Berkat
dedikasinya kepada musik dan lagu berwarna langgam
Jawa, oleh warga
Jawa di Belanda, dia kemudian diberi gelar Penyanyi Jawa Teladan.
Album pertama Didi
muncul pada tahun 1999. Di dalamnya terdapat lagu Cidro dan Stasiun Balapan.
Semula tidak ada seorang pun pedagang kaset yang melirik karyanya. Mungkin
karena warna musiknya yang lain, dan gayanya yang edan, dibandingkan lagu
Manthous dan Anjar Any yang sedang populer di tahun 1990-an. Namun kemudian,
album pertamanya ternyata meledak di pasaran. Sejak saat itu, Didi mulai merasa
yakin untuk menekuni tembang-tembang Jawa. Adik dari pelawak Mamiek Prakosa ini
kemudian menjadi salah satu ikon dari campur sari. Tawaran untuk membuat album
pun datang dengan deras, bahkan dia pernah membuat 12 album sekaligus dalam
satu tahun.
3. Ki Narto Sabdo
3. Ki Narto Sabdo
seorang seniman musik dan dalang wayang kulit legendaris dari Jawa Tengah, Indonesia. Salah satu dalang ternama saat ini, yaitu Ki Manteb Soedharsono mengakui bahwa Ki
Nartosabdo adalah dalang wayang kulit terbaik yang pernah dimiliki Indonesia dan belum
tergantikan sampai saat ini.
·
Contoh
Lagu Campursari:
1.
Nyidamsari
Penyanyi Campursari lain diantaranya: 2. Anoman Obong
0 komentar:
Posting Komentar