Namanya Anggara. Ia murid
kelas enam SD. Karena tubuhnya
lebih besar dibanding teman-teman
sekelasnya, ia dijuluki Si Jumbo. Beberapa hari ini, Jumbo punya kebiasaan
baru. Yaitu, makan ketupat sayur setiap pagi sebelum masuk ke kelas. Jumbo suka
sekali makan ketupat sayur buatan Pak Kiran, warung baru di seberang
sekolahnya. Kadang ia makan sampai dua porsi. Semangat belajarnya bangkit jika
ia sudah makan ketupat itu.
Warung Pak Kiran terbuat dari bambu
beratap daun kelapa kering. Baru dibuka dua bulan lalu. Di situlah tempat ia
meletakkan pikulan ketupat sayurnya. Pak Kiran sangat sabar dan ramah saat
melayani anak-anak.
Pagi ini Jumbo turun dari sedan biru
milik ayahnya. Sebelum masuk ke kelas, seperti biasa ia berlari ke warung Pak
Kiran. Wajahnya kecewa sekali ketika melihat warung itu tutup. Badannya yang
besar berjalan lesu. Gawat! Aku bisa kelaparan nih, bisik Jumbo di dalam hati.
“Wah, si Jumbo bakalan tidak semngat
di kelas. Makanan utamanya tidak ada, sih,” kata Tono yang berkacamata tebal,
teman sekelas Jumbo.
“Betul. Aku juga rugi, nih. Hari ini
tidak ada yang traktir ketupat sayur,” tambah Arif yang tubuhnya paling kecil
di kelas.
Mendengar ledekan kedua teman
akrabnya itu, Anggara si Jumbo tertawa lebar. Matanya menghilang tertutup
pipinya yang tembem. Tiba-tiba Nita, teman sekelas mereka, melintas cepat
dengan langkah angkuh. Tiga sekawan tadi menjadi bingung dan bertanya-tanya.
Akhir-akhir ini sikap Nita menjadi berbeda pada mereka. Apa salah mereka ?
Tiga hari pun berlalu. Tono, Arif,
dan anak-anak lainnya tidak memperhatikan kalau warung ketupat sayur Pak Kiran
sudah tutup selama tiga hari. Namun Anggara si Jumbo tahu persis. Sebab setiap
hari setelah turun dari sedan biru ayahnya, ia selalu menengok ke arah warung
itu. Dan hatinya selalu kecewa saat melihat warung yang tertutup itu.
Jumbo lalu memutuskan untuk mencari
alamat rumah Pak Kiran. Arif dan Tono menemaninya. Mereka bertiga mencari
informasi dari penjual bakso dan penjual siomay. Lalu mereka mencari alamat Pak
Kiran dengan bersepeda. Setelah beberapa kali bertanya, akhirnya mereka
menenukan rumah Pak Kiran.
Rumah Pak Kiran tampak sederhana,
bersih, dengan halaman cukup luas. Wajah Anggara terlihat gembira ketika
melihat pikulan ketupat sayur di pojok dalam teras rumah itu. Usaha mereka
tidak sia-sia. Istri Pak Kiran menyambut mereka ramah, dan mempersilahkan duduk
di kursi panjang bambu. Sejuk sekali udara di dalam rumah itu.
Tidak lama kemudian, dari balik
tirai bermotif bunga matahari, muncul Pak Kiran. Dia mengenakan sarung dan kaus
putih. Dengan tawanya yang khas, Pak Kiran menyambut Jumbo, Tono, dan Arif.
Wajahnya sedikit pucat.
Plester koyo masih melekat di kiri-kanan keningnya.
“Pak Kiran, jangan terlalu lama
dong, cutinya. Kita kangen, nih, sama
ketupat sayurnya,” canda Anggara si Jumbo.
“Cuti ? Memangnya Pak Kiran ini
pegawai kantor ?” tawanya.
Suasana menjadi sangat akrab dan
meriah. Pak Kiran pandai bercerita lucu. Anggara si Jumbo, Tono, Arif sampai
tertawa terpingkal-pingkal. Pak Kiran pun merasa terhibur. Rasa demamnya segera
hilang. Ia berjanji akan segera berjualan kembali.
Hari telah menjelang magrib. Ketiga
anak itu pamit pulang. Mereka menyerahkan bungkusan apel dan jeruk kepada Pak
Kiran dan istrinya. Sementara itu di balik tirai bermotif bunga matahari, Nita
mengawasi kepergian mereka. Selama ini mereka tidak tahu kalau Pak Kiran adalah
ayahnya. Hatinya terharu melihat Anggara si Jumbo, Tono, dan Arif memperhatikan
ayahnya. Sementara ia serdiri merasa malu ketika ayahnya memutuskan untuk
berjualan ketupat sayur di depan sekolahnya. Dulu, ayahnya bekerja di sebuah
restoran.
Esoknya, Anggara si Jumbo kembali
berdiri memandang ke seberang jalan. Kalau-kalau Pak Kiran sudah mulai
berjualan. Namun ia memandang bingung melihat Nita berdiri di sana dengan
rantang di tangannya. Rantang itu bersusun tiga.
Anggara si Jumbo melangkah gagah
menyeberangi jalan. Hidungnya mencium bau masakan yang selama ini dirindukan.
Aroma ketupat sayur dan semur tahu. Wajahnya tiba-tiba berubah cerah.
“Ini dari Pak Kiran,” Nita
menyerahkan rantang itu. Tentu saja Anggara si Jumbo menerima dengan senang
sekali.
“Maaf, aku kemarin tidak keluar
ketika kalian datang. Terima kasih sudah menjenguk ayahku. Ayahku akan kembali
berdagang besok,” cerita Nita
singkat, kemudian bergegas jalan.
Anggara si Jumbo tertegun
mendengarkan, namun cepat-cepat ia berseru sebelum Nita menyeberangi jalan,
“Terima kasih, Nit. Ayahmu itu hebat!”
Nita menengok dan tersenyum.
Setelah Nita pergi, Jumbo segera membuka rantang bersusun tiga itu. Ketupat
sayur dan semur tahu.
“Wah asyiiiik!” serunya. Belum
sempat ia menyantap, Tono,dan Arif datang bergabung.
“Pak Kiran tadi kemari, ya ?”
tanya Tono menyelidik.
“Iya,” kata Anggara, sementara
mulutnya penuh dengan ketupat sayur.
Di seberang jalan, Nita melihat
ketiga temannya itu makan dengan lahap ketupat sayur dan semur tahu bikinan
ayahnya tercinta.
“Sekali lagi terima kasih, teman-temanku,” kata Nita dalam hati.
Oleh: Mahdy ZA
Dikutip dari: Kumpulan Cerpen Pustaka Ola
Hal.139-144
0 komentar:
Posting Komentar